Etika Profesi Penegak Hukum Polri Antara Moral dan Pengabdian
“Nos scimus quia lex bona est, modo quis ea utatur legitime”
Pendahuluan
Polisi Republik Indonesia (Polri) dalam perannya sebagai penegak
hukum diusianya yang ke-63 tahun selalu terus berupaya untuk memberikan
hasil yang baik. Gejala merosotnya pengemban profesi hukum tampak dari
munculnya istilah “Mafia Peradilan”, dan orang mulai merasa bahwa
sebaiknya untuk menyelesaikan suatu kasus sedapat mungkin jangan ke
pengadilan dengan bantuan pengemban profesi hukum. Apa artinya jika
dikatakan bahwa profesi mengalami kemerosotan (seriouly impaired)? Apa
ukurannya untuk menilai demikian? Jawabnya adalah jika kode etik profesi
tidak dipatuhi oleh sebagian besar para pengembannya. Tetapi, apa kode
etik profesi itu, dan mengapa profesi memerlukan kode etik? Jawabannya
akan tergantung pada pengertian kita tentang profesi itu sendiri.
Perkataan profesi dan profesional sudah sering digunakan dan mempunyai
beberapa arti. Dalam percakapan sehari-hari, perkataan profesi diartikan
sebagai pekerjaan (tetap) untuk memperoleh nafkah (Belanda; baan;
Inggeris: job atau occupation), yang legal maupun yang tidak. Jadi,
profesi diartikan sebagai setiap kegiatan tetap tertentu untuk
memperoleh nafkah yang dilaksanakan secara berkeahlian yang berkaitan
dengan cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi dengan
menerima bayaran yang tinggi. Keahlian tersebut diperoleh melalui proses
pengalaman, belajar pada lembaga pendidikan (tinggi) tertentu, latihan
secara intensif, atau kombinasi dari semuanya itu. Dalam kaitan
pengertian ini, sering dibedakan pengertian profesional dan
profesionalisme sebagai lawan dari amatir dan amatirisme, misalnya dalam
dunia olahraga, yang sering juga dikaitkan pada pengertian pekerjaan
tetap sebagai lawan dari pekerjaan sambilan.
Pengemban profesi adalah orang yang memiliki keahlian yang berkeilmuan
dalam bidang tertentu. Karena itu, ia secara mandiri mampu memenuhi
kebutuhan warga masyarakat yang memerlukan pelayanan dalam bidang yang
memerlukan keahlian berkeilmuan itu. Pengemban profesi yang bersangkutan
sendiri yang memutuskan tentang apa yang harus dilakukannya dalam
melaksanakan tindakan pengembanan profesionalnya. Ia secara pribadi
bertanggung jawab atas mutu pelayanan jasa yang dijalankannya. Karena
itu, hakikat hubungan antara pengemban profesi dan pasien atau kliennya
adalah hubungan personal, yakni hubungan antar subyek pendukung nilai.
Hubungan personal yang demikian itu tadi adalah hubungan horisontal
antara dua pihak yang secara formal yuridis kedudukannya sama. Walaupun
demikian, sesungguhnya dalam substansi hubungan antara pengemban profesi
dan klien itu secara sosio-psikologis terdapat ketidakseimbangan. Dalam
pengembanan profesinya, seorang pengemban profesi memiliki dan
menjalankan otoritas profesional terhadap kliennya, yakni otoritas yang
bertumpu pada kompetensi teknikalnya yang superior.
Klien tidak memiliki kompetensi teknikal atau tidak dalam posisi untuk
dapat menilai secara obyektif pelaksanaan kompetensi teknikal pengemban
profesi yang diminta pelayanan profesionalnya. Karena itu, jika klien
mendatangi atau menghubungi pengemban profesi untuk meminta pelayanan
atau jasa profesionalnya, maka pada dasarnya klien tersebut tidak
mempunyai pilihan lain kecuali memberikan pelayanan profesionalnya
secara bermutu dan bermartabat. Uraian tadi menunjukkan bahwa hubungan
horosontal antara pengemban profesi dan kliennya juga bersifat suatu
hubungan kepercayaan. Ini berarti bahwa klien yang meminta jasa
pelayanan profesional, mendatangi pengemban profesi yang bersangkutan
dengan kepercayaan penuh bahwa pengemban profesi itu tidak akan
menyalahgunakan situasinya, bahwa pengemban profesi itu secara
bermartabat akan mengerahkan pengetahuan dan keahlian berkeilmuannya
dalam menjalankan pelayanan jasa profesionalnya.
Karena merupakan suatu fungsi kemasyarakatan yang langsung berkaitan
dengan nilai dasar yang menentukan derajat perwujudan martabat manusia,
maka sesungguhnya pengembanan profesi atau pelayanan profesional itu
memerlukan pengawasan masyarakat. Tetapi pada umumnya, yang bukan
pengemban profesi yang bersangkutan, tidak memiliki kompetensi teknikal
untuk dapat menilai dan melakukan pengawasan yang efektif terhadap
pengembanan profesi. Termasuk birokrasi pemerintahan sulit melaksanakan
pengawasan dan pengendalian kemasyarakatan (kontrol sosial) terhadap
pelayanan profesional secara efektif. Daya jangkau kontrol sosial
birokrasi pemerintahan dengan berdasarkan kaidah hukum sangat terbatas,
baik karena sifat personal pada hubungan antara pengemban profesi dan
klien maupun karena pengemban profesi memiliki kekuasaan dan menjalankan
kewibawaan tertentu terhadap kliennya.
Penegakan Hukum
Bahwa etika profesi adalah sebagai sikap hidup untuk memenuhi
kebutuhan pelayanan profesional dari klien dengan keterlibatan dan
keahlian sebagai pelayanan dalam rangka kewajiban masyarakat sebagai
keseluruhan terhadap para anggota masyarakat yang membutuhkannya dengan
disertai refleksi yang seksama, berdasarkan pengertian terdapatnya
kaidah-kaidah pokok etika profesi sebagai berikut:
- Profesi harus dipandang (dan dihayati) sebagai suatu pelayanan;
- Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan klien mengacu pada kepentingan atau nilai-nilai luhur sebagai norma kritik yang memotivasi sikap dan tindakan;
- Pengemban profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan;
- Agar persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat harus dapat menjamin mutu dan peningkatan pengembanan profesi tersebut.
Etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral dari sikap
hidup dalam menjalani kehidupan sebagai pengemban profesi. Hanya
pengemban profesi yang bersangkutan yang dapat atau yang paling
mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban profesi memenuhi
tuntutan etika profesinya atau tidak. Karena tidak memiliki kompetensi
teknikal, maka awam tidak dapat menilai hal itu. Ini berarti, kepatuhan
terhadap etika profesi akan sangat tergantung pada akhlak dan moral
pengemban profesi yang bersangkutan. Disamping itu pengemban profesi
sering dihadapkan pada situasi yang menimbulkan masalah pelik untuk
menentukan perilaku apa yang memenuhi tuntutan etika profesi. Sedangkan
perilaku dalam pengembanan profesi dapat membawa akibat negatif yang
jauh terhadap klien, dimana kenyataan tersebut dapat menunjukkan bahwa
kalangan pengemban profesi itu sendiri membutuhkan adanya pedoman
obyektif yang lebih konkret bagi perilaku profesionalnya. Karena itu,
dari dalam lingkungan para pengemban profesi itu sendiri dimunculkan
seperangkat kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam
mengemban profesi tersebut. Perangkat kaidah itulah yang disebut sebagai
kode etik profesi (biasa disingkat: kode etik), yang dapat tertulis
maupun yang tidak tertulis. Pada masa sekarang, kode etik itu pada
umumnya berbentuk tertulis yang ditetapkan secara formal oleh tiap-tiap
organisasi profesi yang bersangkutan. Pada dasarnya, kode etik itu
bertujuan untuk menjaga martabat profesi yang bersangkutan, dan di lain
pihak untuk melindungi klien (warga masyarakat) dari penyalahgunaan
keahlian dan atau otoritas profesional. Yang dalam perkembangan
selanjutnya kode etik tersebut termasuk kelompok kaidah moral positif.
Kondisi ini, baik dimasa pemerintahan orde baru maupun pemerintahan
pasca reformasi, termasuk pemerintahan sekarang dalam kontek teknisnya,
eksistensi “kode etik” tersebut dalam melayani hajat hidup orang
banyak, belum total mencitrakan diri dan jatidirinya sebagai pelayanan
publik. Dengan kata lain, masih memperlihatkan
penyelewengan-penyelewengan etika profesi yang dilakukan oleh pengemban
profesi secara individualistik.
Apalagi dikaitkan dengan tuntutan aspirasi rakyat yang menginginkan
reformasi total terhadap seluruh tatanan pelayanan publik, dan kita
masih berharap-harap cemas untuk mendapat buktinya, apakah dalam
kenyataannya proses pengemban profesi ini masih berdasarkan akal sehat
dan moral yang baik atau sekedar pengabdian profesi yang tanpa pamrih?
Realitasnya, klien (warga masyarakat) masih harus menanggung beban
dalam luka liku setiap permasalahan yang dihadapinya ketika dikerjakan
oleh seorang pengemban profesi walaupun ia sanggup membayar, tapi ia
akan terus dihantui bayang-bayang kegelisahan ketika permasalahan yang
dihadapinya tidak dapat diselesaikan secara tuntas. Malah, dalam
kenyataannya proses tersebut harus dibayar dengan mahal, baik secara
moril maupun material.
Kendati begitu, dalam prosesnya harus dihitung berbagai kelemahan, baik
yang bersifat yuridis formal maupun psikologis, tanpa itu kita bakal
terjebak kembali oleh perilaku budaya yang arogan dan
kesewenang-wenangan dalam menyelesaikan setiap proses dalam pengembanan
profesi tersebut. Persoalan mendasar yang masih kita hadapi saat ini,
tidak terlepas dari rangkaian perilaku moral dari para pengemban profesi
yang erat dengan budaya feodal kolonialistik. Dan reaksinya, muncul ke
permukaan setelah klien (warga masyarakat) di berbagai daerah memiliki
kembali keberaniannya untuk memperjuangkan hak dan kewajibannya dalam
pola masyarakat hukum.
Paling tidak, mereka itu dapat melakukan kontrol dan penataan publik,
terhadap perilaku profesi yang menyimpang yang dilakukan oleh setiap
pengemban profesi dalam menjalankan fungsinya dalam tatanan
kemasyarakatan, yang memerlukan jasa pelayanan profesinya secara
proporsional dan profesional dalam menyelesaikan permasalahan yang
timbul dalam peri kehidupan masyarakat secara benar dan tuntas.
Profesi hukum berkaitan dengan masalah mewujudkan dan memelihara
ketertiban yang berkeadilan di dalam kehidupan bermasyarakat. Ketertiban
yang berkeadilan itu adalah kebutuhab dasar manusia, karena hanya dalam
situasi demikian manusia dapat menjalani kehidupannya secara wajar,
yakni sesuai dengan martabat kemanusiannya. Keadilan adalah nilai dan
keutamaan yang paling luhur dan merupakan unsur esensial dari martabat
manusia.
Hukum, kaidah-kaidah hukum positif, kesadaran hukum, kesadaran etis dan
keadilan bersumber pada penghormatan terhadap martabat manusia.
Penghormatan terhadap martabat manusia adalah titik tolak atau landasan
bertumpunya serta tujuan akhir dari hukum. Sebagai sarana untuk
mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, hukum diwujudkan dalam pelbagai
kaidah perilaku kemasyarakatan yang disebut kaidah hukum. Keseluruhan
kaidah hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tersusun dalam
suatu sistem yang disebut tata hukum. Ada dan berfungsinya tata hukum
dengan kaidah –kaidah hukumnya serta penegakannya adalah produk dari
perjuangan manusia dalam upaya mengatasi pelbagai masalah kehidupan
dalam masyarakat, termasuk menanggulangi dan mengarahkan
kecenderungan-kecenderungan yang negatif agar menjadi positif dan
mengaktualisasikan atau memproduktifkan kecenderungan-kecenderungan
positif yang ada dalam diri manusia.
Dalam setiap perjuangan, manusia berusaha memahami, mengolah dan
mengakomodasikan secara kreatif pelbagai kenyataan kemasyarakatan pada
nilai-nilai yang dianut dan mengekspresikan ke dalam sistem penataan
perilaku dan kehidupan bersama dalam wujud kaidah-kaidah hukum, sehingga
bermanfaat bagi perlindungan martabat manusia sesuai dengan tingkat
perkembangan peradaban yang sudah tercapai. Dapat dikatakan bahwa dalam
dinamika kehidupan umat manusia, hukum dan tata hukumnya termasuk salah
satu faktor yang sangat penting dalam proses penghalusan budi pekerti
umat manusia. Kualitas kehidupan hukum dan tata hukum suatu masyarakat
mencerminkan tingkat akhlak atau situasi kultural masyarakat yang
bersangkutan.
Penyelenggaraan dan penegakan ketertiban yang berkeadilan dalam
kehidupan bersama sebagai suatu kebutuhan dasar manusia agar kehidupan
manusia tetap bermartabat adalah suatu fungsi kemasyarakatan. Pada
tingkat peradaban yang sudah majemuk, fungsi kemasyarakatan
penyelenggaraan dan penegakan ketertiban yang berkeadilan itu dalam
kehidupan sehari-harinya diwujudkan oleh profesi hukum. Peran
kemasyarakatan profesi hukum itu dapat dibagi menjadi empat bidang karya
hukum, yakni :
1. Penyelesaian konflik secara formal (peradilan).2. Pencegahan konflik (legal drafting, legal advice).3. Penyelesaian konflik secara informal.4. Penerapan hukum di luar konflik.
Pada masa sekarang, yang termasuk dalam bagian profesi hukum yang
secara khas mewujudkan bidang karya hukumnya adalah jabatan-jabatan
hakim, advokat dan notaris. Jabatan manapun yang diembannya, seorang
pengemban profesi hukum dalam menjalankan fungsinya harus selalu mengacu
pada tujuan hukum untuk memberikan pengayoman kepada setiap manusia
dengan mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, yang bertumpu pada
penghormatan martabat manusia.
Dalam dinamika kehidupan sehari-hari tidak jarang terjadi konflik
kepentingan antar warga masyarakat, seringkali konflik kepentingan itu
tidak dapat diselesaikan dengan baik oleh para pihak yang bersangkutan,
karena tiap pihak tentu saja akan cenderung berusaha untuk dengan segala
cara membela kepentingan-kepentingannya. Cara yang demikian akan
menimbulkan ketegangan dalam masyarakat dan dapat menjurus pada
terciptanya suasana “bellum omnium contra omnes” dengan hukum rimbanya :
“siapa yang kuat dialah yang menang”. Untuk dapat secara teratur
menyelesaikan konflik kepentingan dengan baik demi terpeliharanya
ketertiban di dalam masyarakat, maka diperlukan adanya institusi
(kelembagaan) khusus yang mampu memberikan penyelesaian secara tidak
memihak (imparsial) dan berlandaskan patokan yang berlaku secara
obyektif. Untuk menyelesaikan konflik-konflik kepentingan secara formal
dengan kepastian yang berkeadilan, maka terbentuklah institusi peradilan
lengkap dengan aturan-aturan prosedural dan jabatan-jabatan yang
berkaitan, yakni hakim, advokat dan jaksa.
Wewenang pokok dari lembaga peradilan adalah melakukan tindakan
pemeriksaan, penilaian dan penetapan nilai perilaku manusia tertentu
serta menentukan nilai suatu situasi konkret dan menyelesaikan persoalan
(konflik) yang ditimbulkan secara imparsial berdasarkan hukum yang
dalam hal ini bisa dijadikan sebagai patokan obyektif. Wewenang itulah
yang disebut kewenangan (kekuasaan) kehakiman, dimana pengambilan
keputusan dalam mewujudkan kewenangan kehakiman tersebut dalam kenyataan
konkret, dilaksanakan oleh pejabat lembaga peradilan yang dinamakan
hakim.
Pada dasarnya, tugas hakim adalah memberikan keputusan atas setiap
perkara (konflik) yang dihadapkan kepadanya. Artinya, hakim bertugas
untuk menetapkan hubungan hukum, nilai hukum dari perilaku serta
kedudukan hukum para pihak yang terlibat dalam situasi yang dihadapkan
kepadanya. Agar dapat menyelesaikan masalah atau konflik yang dihadapkan
kepadanya secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam
proses pengambilan keputusan, para hakim harus mandiri dan bebas dari
pengaruh pihak manapun, termasuk dari pemerintah sekalipun. Dalam
mengambil keputusan para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang
relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis
keputusannya, disamping sikap etis atau etika profesi hakim harus
berintikan: sikap takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, jujur, adil,
bijaksana, imparsial (tidak memihak), sopan, sabar, memegang teguh
rahasia jabatan, dan solidaritas sejati. Dan mengenai tanggung jawab
antara hakim dan advokat atau penasehat hukum adalah tanggung jawab dan
kewenangannya saja, hakim terbatas pada satu bidang karya hukum saja,
yakni penyelesaian konflik dan masalah formal, sedangkan advokat atau
penasehat hukum dapat berperan pada semua bidang karya hukum dalam
mengemban profesinya itu. Advokat atau penasehat hukum juga harus selalu
mengacu pada usaha mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum yang
berkeadilan. Karena itu, pada dasarnya etika profesi hakim berlaku juga
bagi para advokat. Secara etis, para advokat atau penasehat hukum
berkewajiban untuk menegakkan asas-asas hukum dan martabat manusia.
Penutup
Uraian diatas mengambarkan kode etik profesi hukum dalam bentuk
ideal, walaupun dalam kenyataanya dapat kita temukan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hal konteks ini. Hal ini
biasa, artinya dalam kenyataan konkret hampir tidak ada sesuatu yang
hadil dalam bentuk idealnya. Namun, jika penyimpangan-penyimpangan ini
cukup jauh dan mencakup banyak aspek serta meluas sekali, maka mungkin
kita dapat berbicara tentang krisis atau perubahan fundamental dengan
segala akibat dan konsekuensi logisnya dalam kehidupan bermasyarakat.
Uraian ini justru dimulai dengan menunjukkan gejala-gejala yang
memperlihatkan kemungkinan adanya krisis dalam dunia profesi kita yang
mungkin mencakup semua profesi yang ada sekarang ini.
Tujuan pokok (essensial goals) para pengemban profesi dalam mengemban
profesinya adalah mewujudkan hasil karya obyektif (objective
achievement) dan pengakuan. Dalam kenyataan terdapat beberapa hal yang
sangat penting tidak hanya sebagai lambang pengakuan saja, melainkan
dalam konteks lain. Misalnya, berlaku untuk uang. Karena uang adalah
penting sehubungan dengan apa yang dapat dibelinya, tetapi juga penting
dalam perannya sebagai lambang pengakuan nyata atas kualitas karya
profesionalnya.Gambaran ideal tentang profesi hanya berlaku pada situasi
yang di dalamnya terdapat aspek hasil karya obyektif dan
terintegrasikan dengan baik. Jika kenyataan aktual menyimpang dari
kondisi ideal, maka hasil karya obyektif yang memiliki nilai secara
institusional dan perolehan pelbagai lambang pengakuan akan tidak
terartikulasikan atau terolah dengan baik. Kualitas profesi hukum akan
merosot jika penguasa politik menguasai profesi dalam rangka menetralkan
sumber kritik potensialnya, para pengemban profesi hukum terperangkap
oleh kepentingan klien, karena takut kehilangan klien, pengemban profesi
secara subyektif terlibat terlalu jauh dalam kepentigan klien, dan
ujung-ujungnya kualitas lembaga peradilan sangat rendah dan
mengkhawatirkan kondisinya.
Dari apa yang telah dikemukakan, dapat dikatakan bahwa profesi adalah
suatu kerangka institusional yang di dalamnya terdapat sejumlah fungsi
kemasyarakatan yang paling penting dijalankan, terutama pengembangan
serta pengajaran ilmu dan humaniora dan penerapan praktikalnya dalam
bidang-bidang ilmu lainnya terutana dalam bidang hukum. Untuk itu perlu
diusahakan agar profesi-profesi ini mampu mempertahanlkan otonominya,
misalnya lewat organisasi profesi yangkemandiriannya diakui dan
dihormati oleh penguasa publik dan masyarakat, serta didukung oleh
proses dan metode yang juga memuat usaha untuk secara sistematis
menumbuhkan sikap etis yang sesuai dengan dinamisasi kehidupan
masyarakat sekarang ini.
Sebab, membangun wacana ini dalam masyarakat yang masih bersikap reaktif
emosional, peran pengemban profesi hukum yang profesional dan
proporsional akan sangat menentukan. Jika tidak mampu mencitrakan diri
dan jati dirinya, masyarakat akan terpengaruh untuk tidak patuh dan
taat akan hukum. Karena yang kita perlukan adalah para pengemban
profesi hukum yang bisa memerankan unsur idealisme dan realistisnya
dalam mengaplikasikan setiap kinerjanya, sehingga segala bentuk harapan
dan kenyataan akan antara moral dan pengabdian dalam kode etik profesi
hukum akan terwujud dengan sendirinya.
0 komentar:
Posting Komentar